Minggu, 03 Oktober 2010

Raden Ajeng Kartini

R.A Kartini adalah seorang pelopor Emansipasi Wanita pertama di Indonesia. Beliau lahir pada akhir abad ke XIX. Tepatnya pada tanggal 21 April 1879. Ayahnya bernama Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat (R.M.A.A. Samingoen Sosroningrat) yang waktu itu menjabat sebagai Wedana di Mayong. Beliau mempunyai dua orang istri. Istri pertamanya bernama Mas Ajeng Ngasirah dan mempunyai delapan orang anak, tiga diantaranya adalah R.M. Panji Sosrokartono, R.A. Kartini dan R.A. Kardinah.

Istri keduanya adalah R.A. Woerjan dan mempunyai tiga orang puteri. Salah satunya bernama R.A. Roekmini. Karena R.A. Woerjan masih keturunan langsung raja Madura, maka dialah yang diangkat sebagai garwa padmi (istri utama) dan Ngasirah menjadi garwa ampil (selir). Pada saat itu R.M.A.A. Samingoen Sosroningrat sudah menjabat sebagai Bupati Jepara dan memiliki kediaman baru yang lebih bagus dan luas daripada kediamannya yang lama.

Ada perbedaan mencolok antara garwa padmi dengan garwa ampil. Salah satunya adalah semua putra-putri Sosroningrat baik dari garwa padmi maupun garwa ampil, memanggil “IBU” pada R.A. Woerjan dan “YU” pada Ngasirah dan perlakuan yang tidak wajar contohnya saja pada waktu makan.

Suatu Malam di Istana ….

Kartini : Ibu bisakah ibu ikut makan malam bersamaku dan yang lainnya dalam satu meja yang sama ?

Ngasirah : Maaf anakku. Ibu tidak bisa. Ibu harus mematuhi peraturan Istana ini. Jika tidak ayahmu bisa marah pada ibu. Dan bisa-bisa kamu yang akan dimarahinya.

Kartini : Tapi bu. Aku tidak tahan jika harus terus menerus seperti ini. Aku ingin makan dimeja makan yang sama dengan ibu bersama dengan yang lainnya seperti dulu.

Ngasirah : Anakku. Ibu mohon pengertianmu. Maafkan ibu kali ini ibu ndak bisa menuruti kemauanmu seperti dulu. Kamu harus mengerti. Kehidupan kita yang sekarang berbeda dengan kehidupan kita yang dulu.

Kartini : Baiklah bu.

Dengan sangat terpaksa, Kartini menerimanya. Ia hanya tidak ingin membuat ibunya dimarahi oleh ayahnya.

Di meja makan …

Kartini : Ayah, bisakah ayah membuat ibu ikut makan bersama kita disini ?

Sosroningrat : Maaf putriku, ndak bisa.

Kartini : Kenapa wahai ayahku ?

Sosroningrat : Karena… (belum selesai beliau berbicara, R.A. Woerjan melanjutkan.)

R.A. Woerjan : Karena peraturan istana sudah berkata begitu. Janganlah membantah. Jika kau membantah, itu akan membahayakan dirimu ! sudahlah ini waktunya makan. Janganlah berbicara pada saat makan. Cepat habiskan makananmu itu.

Sosroningrat : Sudah-sudah. Putriku sudahlah lebih baik kamu dengarkan ibumu.

Kartini hanya menundukkan kepala. Tidak ada yang bisa dilakukannya.

Kartini sangat rajin dalam belajar. Dia sangat tekun. Karena dia tidak ingin menyianyiakan masa menuntut ilmunya itu. Kartini bersekolah disekolah satu-satunya di Jepara, yaitu milik pemerintah Belanda. Sekolah itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak bupati, Belanda atau pembesar lainnya. Disekolah, Kartini sering mendapat parlakuan buruk dari teman-teman Belanda yang tidak menyukainya. Karena dialah satu-satunya murid yang berkulit sawo matang.

Anak Belanda : Hei lihat dia. Dia hitam tidak seperti kita putih. Untuk apa dia ada disini ? Bukankah dia termasuk salah satu pribumi. Kenapa dia diperbolehkan bersekolah disini ?

Kartini : …. (hanya diam dan merunduk)

Pada saat jam belajar

Teman Kartini : Hei kartini, Kenapa kau disekolahkan disini ?

Kartini : Keinginan ayahku. Ia mau … (tiba-tiba diam karena mendengar ejekan dari belakang)

Anak Belanda : Huu.. dasar anak pribumi, kerjanya menyontek saja.

Kartini : Mpphh…. (memendam amarah)

Teman Kartini : Hei, Kau bilang apa barusan ? (sambil tolak pinggang)

Ibu Guru : Hei-hei ! sudah ! Sudah ! ada apa ini sebenarnya ? kalian bertiga ikut ibu. (sambil memberikan secarik kertas yang berisi satu bait puisi berbahasa belanda) Kalian bertiga harus membaca puisi ini didepan.

Tidak ada satupun yang mampu membaca puisi tersebut.

Kartini : Saya bisa membacanya bu. “Lihat anak-anak ! Kini kalian tahu siapa yang lebih bodoh ? Karena itu tidak baik mengejek sesama teman hanya karena perbedaan warna kulit”

Kartini tersadar bahwa ternyata gurunya yang berkebangsaaan belanda itu lebih membela dirinya. Semangat belajar Kartini menjadi menggebu-gebu.

Di Istana ketika Kartini, Kardinah dan Roekmini sedang bermain bersama dengan didampingi oleh pengasuhnya yang biasa dipanggil si Mbok.

Kardinah : Mbak. Besok aku mau belajar membatik loh !

Kartini : Wah hebat.

Roekmini : Mbak-mbak besok aku mau belajar mengaji loh.

Kartini : Wah kamu juga hebat. Adik-adikku memang hebat-hebat.

Tiba-tiba saja mereka terpeleset di dalam lumpur. Baju mereka menjadi kotor. Tetapi mereka tetap senang. Tiba-tiba kakak mereka yang bernama Soelastri muncul

Soelastri : Hei Mbok !

Si Mbok : Njeh ndoro. Ada apa ndoro ?

Soelastri : Kau kan inang pengasuhnya. Seharusnya kau larang dia bermain dikebun yang kotor. Nanti akan aku beri tahu kanjeng ibu. (dengan angkuh)

Kartini : Sudahlah mbak. Jangan memarahi si Mbok begitu. Ini semua kesalahan kami. Sudahlah.

Soelastri : Sudahlah. Kamu disini sebagai kakak dari mereka berdua sudah seharusnya menjaga mereka berdua. Kenapa kamu juga malah membiarkan mereka berkotor-kotor seperti itu.

Kartini : Maaf ka. Maafkan aku.

Tidak lama kemudian. R.A. Soelastri pun pergi.

Kartini : Mbok. Kenapa mbok tidak berani membantah ? Mbok kan tidak bersalah.

Si Mbok : Sudah adat Keraton, Ndoro Den Ajeng. Oia den, tadi papahnya den ingin mengajak Den Ajeng untuk pergi ke tempat ukiran.

Kartini : Oh gitu. Terima kasih ya mbok.

Sore harinya, R.M.A.A. Samingoen Sosroningrat mengajak R.A. Kartini untuk pergi tempat ukir.

Sosroningrat : Putriku, kamu tahu? Seni ukir ini termasuk salah satu seni yang sangat bagus. Sangat memiliki nilai seni yang tinggi. Apalagi sangat bagus untuk berada di kawasan Keraton. Apa kamu tertarik dengan seni ukir putriku ?

Kartini : Iya ayah. Aku sangat tertarik dengan seni ukir ini. Aku juga ingin belajar seni ukir ini yah.

Sosroningarat : (diam sejenak) sebaiknya kamu tekuni dulu belajarmu disekolah.

Kartini : Apakah setelah itu ayah mengijinkanku untuk belajar seni ukir ini ?

Sosroningrat : Sudahlahkamu tunda dulu impiamu itu untuk saat ini. (sambil berjalan meninggalkan Kartini)

Kartini hanya diam saja. Ia masih bingung dengan jawaban ayahnya itu. Kartini masih kurang puas dengan jawaban ayahnya.

Setelah Kartini berusia 12 tahun, tiba-tiba dia diperintahkan ayahnya hanya untuk berada dikawasan Keraton saja. Tidak boleh keluar dari kawasan keratin. Atau dalam bahasa keratin disebut dipingit. Setiap hari Kartini kerjanya hanya surat menyurat saja dengan teman-teman wanitanya yang berkebangsaan Belanda. Ia menceritakan keadaan dirinya yang kini hidup seperti burung dalam sangkar emas. Surat-suratnya yang ditulis kepada nona E.H. Zeehandelaar tentang penderitaan dirinya sebagai gadis pingitan.

Disuatu siang, Kartini memanggil adi-adiknya.

Kartini : Kardinah…! Roekmini..!

Kardinah : Iya mbak. Ada apa ?

Kartini : Ada yang ingin mbak bicarakan dengan kalian. Lantas, dimana Roekmini ?

Kardinah : Dia sedang berada dikamar ibu mbak. Nanti dia akan menyusul kesini katanya.

Kartini : Baiklah kalau begitu. Adikku, apa kamu tahan berada di istana dengan peraturan yang kolot seperti ini ?

Kardinah : Maksud mbak apa ya ? aku ndak ngerti.

Kartini : Aku sudah ndak sanggup begini lagi. Aku sudah capek seperti ini. Aku sedih sekali setiap aku mengingatnya. Aku hanya tidak ingin. Peraturan seperti ini masih bertahan lama di istana.

Kardinah : Maksud mbak ? Mbak ingin merubah peraturan itu ? tapi bagaimana caranya ?

Kartini : Iya mbak ingin merubah peraturan itu. Tapi mbak bingung bagaimana caranya. Maukah kamu membantu mbakmu ini ?

Kardinah : Baiklah mbak. Kardinah mau. Sebenarnya Kardinah juga tidak suka dengan peraturan itu. Apalagi aku kasihan melihat mbakku sendiri dipingit seperti ini.

Roekmini : Mbak tini.. ! Mbak Dinah …! Maafkan aku terlambat. Ada apa ? (sambil terengah-engah)

Kartini : Sudah-sudah bernafaslah dulu kamu mini.

Roekmini : Hehehe maaf yah mbak. Ada apa mbak ?

Kartini : Kardinah, bisa kamu ceritakan niatku pada adikmu ?

Kardinah : Baiklah mbak.

Setelah Roekmini diceritakan oleh Kardinah, Roekmini sangat setuju dengan rencana kakaknya itu. Selagi Kartini sedang berjalan menuju kamarnya, ia bertemu dengan R.A. Soelastri.

Soelastri : Sedang membicarakan apa kamu tadi dengan adik-adikmu ?

Kartini : Tidak mbak. Tidak ada hal yang penting.

Soelastri : Begitu ya ? Aku tadi melihat raut wajahmu dan adik-adikmu sangat bersemangat. Pasti ada hal yang belum kuketahui. Ada apa ? Ayolah ceritakanlah padaku.

Kartini : Apa mbak yakin mau mendengarkanku ?

Soelastri : Tentu.

Kartini menjelaskannya. Tiba-tiba R.A. Soelastri menjawab dengan lantang.

Soelastri : Terserah ! Aku wanita Jawa Bangsawan yang harus mematuhi adat Keraton. Dan aku Bukan Wanita Belanda. Akan aku laporkan pada ayah.

Setelah ayah Kartini R.M.A.A Samingoen Sosroningrat mengetahuinya, beliau tidak menggubrisnya. Ia dapat memaklumi dengan apa yang terjadi. Karena itu tak dihiraukannnya pengaduan itu. Setelah itu beliau memanggil Kartini untuk menemuinya.

Kartini : Ada apa ayah memanggilku kesini ? Apa yang ingin ayah bicarakan padaku ?

Sosroningrat : Apa yang ingin kamu lakukan putriku ?

Kartini : Oh soal itu. Maafkan aku ayah. Maaf kan aku. Aku mohon maaf telah berkata semauku.

Sosroningrat : Sudah ndak apa-apa. Tetapi ayah tetap tidak menyetujuinya kalau kamu tetap bersikeras untuk mencoba mengganti peraturan itu.

Kartini : Apa tidak ada cara lain ayah ? Apakah mungkin dengan membangun sekolah didalam istana ayah ? atau yang lainnya ?

Sosroningrat : Ayah akan memikirkannya.

Setelah itu Kartini kembali ke Kamarnya sambil menangis. Karena rencananya itu tidak disetujui oleh ayahnya. Dia bercerita kepada orang-orang penting berkebangsaan Belanda yang ada diIstananya. Salah satu Nyonya berkebangsaan Belanda ada yang sangat setuju dengan pernyataan Kartini. Maka dari itu ada seorang wanita berkebangsaan Belanda yang bernama Abendanon menyarankan Kartini untuk membuka sekolah Khusus untuk anak-anak wanita didalam keraton. Dan akhirnya ayahnyapun setuju dan mengijinkan Kartini untuk membuka sekolah tersebut.

Setelah beberapa tahun, akhirnya Kartini bisa membuat sekolah diluar Keraton. Sehingga semua gadis kebanyakan (rakyat biasa) bisa menuntut ilmu. Ketika Kartini berumur 25 Tahun, R.A. Kartini tutup usia pada tanggal 13 September 1904. Dan meninggalkan seorang Suami yang bernama Raden Mas Adipati Djojodiningrat dan seorang putra sulung yang bernama Soesalit. Dan oleh Nyonya Abendanon, semua surat Kartini dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Kartini memang tidak menikmati hasilnya. Akan tetapi apa yang diidam-idamkannya telah tercapai. Sekarang, setiap gadis Indonesia bisa meraih pendidikan dengan setinggi mungkin.

0 komentar:

Posting Komentar